Rancangan KUHP (BUKU I BAB III)

BUKU KESATU
KETENTUAN UMUM

BAB I
BAB II

BAB III : PEMIDANAAN PIDANA DAN TINDAKAN

Bagian Kesatu
Pemidanaan

Paragraf 1
Tujuan Pemidanaan

Pasal 54
(1) Pemidanaan bertujuan:
a. mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat;
b. memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna;
c. menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; dan
d. membebaskan rasa bersalah pada terpidana;
(2) Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia.


Paragraf 2
Pedoman Pemidanaan

Pasal 55
(1) Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan:
a. kesalahan pembuat tindak pidana;
b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana;
c. sikap batin pembuat tindak pidana;
d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana;
e. cara melakukan tindak pidana;
f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana;
g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana;
h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana;
i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban;
j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau
k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan.
(2) Ringannya perbuatan keadaan pribadi pembuat atau keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan.

Pasal 56
Seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana berdasarkan alasan peniadaan pidana jika orang tersebut telah dengan sengaja menyebabkan terjadinya keadaan yang dapat menjadi alasan peniadaan pidana tersebut.

Paragraf 3
Perubahan atau Penyesuaian Pidana

Pasal 57
(1) Putusan pidana dan tindakan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat dilakukan perubahan atau penyesuaian dengan mengingat perkembangan narapidana dan tujuan pemidanaan.
(2) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas permohonan narapidana orang tua wali atau penasihat hukumnya atau atas permintaan jaksa penuntut umum atau hakim pengawas.
(3) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh lebih berat dari putusan semula dan harus dengan persetujuan narapidana.
(4) Perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. pencabutan atau penghentian sisa pidana atau tindakan; atau
b. penggantian jenis pidana atau tindakan lainnya.
(5) Jika permohonan perubahan atau penyesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditolak oleh pengadilan maka permohonan baru dapat diajukan lagi setelah 1 (satu) tahun sejak penolakan.
(6) Jika terdapat keadaan khusus yang menunjukkan permohonan tersebut pantas untuk dipertimbangkan sebelum batas waktu 1 (satu) tahun maka ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak berlaku.

Paragraf 4
Pedoman Penerapan Pidana Penjara dengan Perumusan Tunggal dan Perumusan Alternatif

Pasal 58
(1) Jika seseorang melakukan tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana penjara sedangkan hakim berpendapat tidak perlu menjatuhkan pidana penjara setelah mempertimbangkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 maka orang tersebut dapat dijatuhi pidana denda.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi orang yang pernah dijatuhi pidana penjara untuk tindak pidana yang dilakukan setelah berumur 18 (delapan belas) tahun.
(3) Pidana denda yang dapat dijatuhkan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pidana denda paling banyak menurut Kategori V dan pidana denda paling sedikit menurut Kategori III.
(4) Jika tujuan pemidanaan tidak dapat dicapai hanya dengan penjatuhan pidana penjara maka untuk tindak pidana terhadap harta benda yang hanya diancam dengan pidana penjara dan mempunyai sifat merusak tatanan sosial dalam masyarakat dapat dijatuhi pidana denda paling banyak Kategori V bersama-sama dengan pidana penjara.

Pasal 59
(1) Jika tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda maka dapat dijatuhkan pidana tambahan atau tindakan.
(2) Terhadap orang yang telah berulang kali dijatuhi pidana denda untuk tindak pidana yang hanya diancam dengan pidana denda dapat dijatuhi pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana pengawasan bersama-sama dengan pidana denda.

Pasal 60
(1) Jika suatu tindak pidana diancam dengan pidana pokok secara alternatif maka penjatuhan pidana pokok yang lebih ringan harus lebih diutamakan apabila hal itu dipandang telah sesuai dan dapat menunjang tercapainya tujuan pemidanaan.
(2) Jika pidana penjara dan pidana denda diancamkan secara alternatif maka untuk tercapainya tujuan pemidanaan kedua jenis pidana pokok tersebut dapat dijatuhkan secara kumulatif dengan ketentuan tidak melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan tersebut.
(3) Jika dalam menerapkan ketentuan ayat (2) dipertimbangkan untuk menjatuhkan pidana pengawasan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 dan Pasal 78 ayat (1) dan ayat (2) maka tetap dapat dijatuhkan pidana denda paling banyak separuh dari maksimum pidana denda yang diancamkan tersebut bersama-sama dengan pidana pengawasan.

Paragraf 5
Lain-lain Ketentuan Pemidanaan

Pasal 61
Pidana penjara dan pidana tutupan bagi terdakwa yang sudah berada dalam tahanan mulai berlaku pada saat putusan telah memperoleh kekuatan hukum tetap sedangkan bagi terdakwa yang tidak berada di dalam tahanan pidana tersebut berlaku pada saat putusan mulai dilaksanakan.

Pasal 62
(1) Dalam putusan ditetapkan bahwa masa penangkapan dan masa penahanan yang dijalani terdakwa sebelum putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dikurangkan seluruhnya atau sebagian dari pidana penjara untuk waktu tertentu atau dari pidana penjara pengganti denda atau dari pidana denda yang dijatuhkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga bagi terpidana yang berada dalam tahanan untuk berbagai perbuatan dan dijatuhi pidana untuk perbuatan lain yang menyebabkan terpidana berada dalam tahanan
Pasal 63
(1) Jika narapidana yang berada dalam lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara pengajuan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tidak menunda pelaksanaan pidana yang telah dijatuhkan.
(2) Jika terpidana berada di luar lembaga pemasyarakatan mengajukan permohonan grasi maka waktu antara mengajukan permohonan grasi dan saat dikeluarkan Keputusan Presiden tentang grasi tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika Presiden menentukan lain.

Pasal 64
Jika narapidana melarikan diri maka masa selama narapidana melarikan diri tidak diperhitungkan sebagai waktu menjalani pidana penjara.

Bagian Kedua
Pidana

Paragraf 1
Jenis Pidana

Pasal 65
(1) Pidana pokok terdiri atas:
a. pidana penjara;
b. pidana tutupan;
c. pidana pengawasan;
d. pidana denda; dan
e. pidana kerja sosial.
(2) Urutan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menentukan berat ringannya pidana.

Pasal 66
Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif.

Pasal 67
(1) Pidana tambahan terdiri atas:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan;
c. pengumuman putusan hakim;
d. pembayaran ganti kerugian; dan
e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pidana tambahan dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok sebagai pidana yang berdiri sendiri atau dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana tambahan yang lain.
(3) Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana.
(4) Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya.
(5) Anggota Tentara Nasional Indonesia yang melakukan tindak pidana dapat dikenakan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku bagi Tentara Nasional Indonesia.

Pasal 68
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 Pasal 66 dan Pasal 67 diatur dengan Undang-Undang.

Paragraf 2
Pidana Penjara

Pasal 69
(1) Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.
(2) Pidana penjara untuk waktu tertentu dijatuhkan paling lama 15 (lima belas) tahun berturut-turut atau paling singkat 1 (satu) hari kecuali ditentukan minimum khusus.
(3) Jika dapat dipilih antara pidana mati dan pidana penjara seumur hidup atau jika ada pemberatan pidana atas tindak pidana yang dijatuhi pidana penjara 15 (lima belas) tahun maka pidana penjara untuk waktu tertentu dapat dijatuhkan untuk waktu 20 (dua puluh) tahun berturut-turut.
(4) Dalam hal bagaimanapun pidana penjara untuk waktu tertentu tidak boleh dijatuhkan lebih dari 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 70
(1) Jika terpidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang 17 (tujuh belas) tahun dengan berkelakuan baik maka terpidana dapat diberikan pembebasan bersyarat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 71
Dengan tetap mempertimbangkan Pasal 54 dan Pasal 55 pidana penjara sejauh mungkin tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut:
a. terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun;
b. terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana;
c. kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar;
d. terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban;
e. terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar;
f. tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain;
g. korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut;
h. tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi;
i. kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain;
j. pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya;
k. pembinaan yang bersifat noninstitusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa;
l. penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa;
m. tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau
n. terjadi karena kealpaan.

Pasal 72
(1) Narapidana yang telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari pidana penjara yang dijatuhkan dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) tersebut tidak kurang dari 9 (sembilan) bulan dan berkelakuan baik dapat diberikan pembebasan bersyarat sebagai Klien Pemasyarakatan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(2) Terpidana yang menjalani beberapa pidana penjara berturut-turut jumlah pidananya dianggap sebagai 1 (satu) pidana.
(3) Dalam memberikan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan masa percobaan dan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan.
(4) Masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sama dengan sisa waktu pidana penjara yang belum dijalani ditambah dengan 1 (satu) tahun.
(5) Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang ditahan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara lain waktu tahanannya tidak diperhitungkan sebagai masa percobaan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 73
(1) Syarat-syarat yang harus dipenuhi selama masa percobaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 ayat (3) adalah:
a. Klien Pemasyarakatan tidak akan melakukan tindak pidana; dan
b. Klien Pemasyarakatan harus melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik.
(2) Syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diubah dihapus atau diadakan syarat baru yang semata-mata bertujuan membina terpidana.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 74
(1) Pembebasan bersyarat tidak dapat ditarik kembali setelah melampaui 3 (tiga) bulan terhitung sejak saat habisnya masa percobaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku jika sebelum waktu 3 (tiga) bulan Klien Pemasyarakatan dituntut karena melakukan tindak pidana dalam masa percobaan dan tuntutan berakhir karena putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
(3) Jangka waktu antara saat mulai menjalani pembebasan bersyarat dan menjalani kembali pidana tidak dihitung sebagai menjalani pidana.

Pasal 75
(1) Keputusan pembebasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum dan hak asasi manusia setelah mendapat pertimbangan dari Tim Pengamat Pemasyarakatan dan hakim pengawas.
(2) Jika terjadi pelanggaran terhadap salah satu syarat maka Balai Pemasyarakatan memberitahukan hal tersebut kepada hakim pengawas.
(3) Pencabutan pembebasan bersyarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum dan hak asasi manusia atas usul hakim pengawas.
(4) Jika Klien Pemasyarakatan melanggar syarat-syarat yang diberikan maka hakim pengawas dapat mengusulkan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum dan hak asasi manusia agar pembebasan bersyarat dicabut.
(5) Jika hakim pengawas mengusulkan pencabutan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) maka hakim pengawas dapat memberi perintah kepada polisi agar Klien Pemasyarakatan ditahan dan hal tersebut diberitahukan kepada Menteri yang bertanggungjawab di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(6) Penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) paling lama 60 (enam puluh) hari.
(7) Jika penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) disusul dengan penghentian sementara waktu atau pencabutan pembebasan bersyarat maka Klien Pemasyarakatan dianggap meneruskan menjalani pidana sejak saat ditahan.
(8) Selama masa percobaan pengawasan dan pembinaan Klien Pemasyarakatan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada departemen yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia.

Paragraf 3
Pidana Tutupan

Pasal 76
(1) Orang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya dapat dijatuhi pidana tutupan.
(2) Pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dijatuhkan kepada terdakwa yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku jika cara melakukan atau akibat dari perbuatan tersebut sedemikian rupa sehingga terdakwa lebih tepat untuk dijatuhi pidana penjara.

Paragraf 4
Pidana Pengawasan

Pasal 77
Terdakwa yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dapat dijatuhi pidana pengawasan.

Pasal 78
(1) Pidana pengawasan dapat dijatuhkan kepada terdakwa mengingat keadaan pribadi dan perbuatannya.
(2) Pidana pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan untuk waktu paling lama 3 (tiga) tahun.
(3) Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat:
a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana;
b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/atau
c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik.
(4) Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada departemen yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(5) Jika selama dalam pengawasan terpidana melanggar hukum maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada departemen yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pengawasan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pengawasan yang belum dijalani.
(6) Jika selama dalam pengawasan terpidana menunjukkan kelakuan yang baik maka Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada departemen yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpendek masa pengawasannya.
(7) Hakim pengawas dapat mengubah penetapan jangka waktu pengawasan setelah mendengar para pihak.

Pasal 79
(1) Jika terpidana selama menjalani pidana pengawasan melakukan tindak pidana dan dijatuhi pidana yang bukan pidana mati atau bukan pidana penjara maka pidana pengawasan tetap dilaksanakan.
(2) Jika terpidana dijatuhi pidana penjara maka pidana pengawasan ditunda dan dilaksanakan kembali setelah terpidana selesai menjalani pidana penjara.

Paragraf 5
Pidana Denda

Pasal 80
(1) Pidana denda merupakan pidana berupa sejumlah uang yang wajib dibayar oleh terpidana berdasarkan putusan pengadilan.
(2) Jika tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit Rp15.000 (lima belas ribu rupiah).
(3) Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan kategori yaitu:
a. kategori I Rp1.500.000 (satu juta lima ratus ribu rupiah);
b. kategori II Rp7.500.000 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah);
c. kategori III Rp30.000.000 (tiga puluh juta rupiah);
d. kategori IV Rp75.000.000 (tujuh puluh lima juta rupiah);
e. kategori V Rp300.000.000 (tiga ratus juta rupiah); dan
f. kategori VI Rp3.000.000.000 (tiga miliar rupiah).
(4) Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya.
(5) Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan:
a. pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V;
b. pidana mati pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI.
(6) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV.
(7) Dalam hal terjadi perubahan nilai uang ketentuan besarnya pidana denda ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 81
(1) Dalam penjatuhan pidana denda wajib dipertimbangkan kemampuan terpidana.
(2) Dalam menilai kemampuan terpidana wajib diperhatikan apa yang dapat dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan pribadi dan kemasyarakatannya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi untuk tetap diterapkan minimum khusus pidana denda yang ditetapkan untuk tindak pidana tertentu.

Paragraf 6
Pelaksanaan Pidana Denda

Pasal 82
(1) Pidana denda dapat dibayar dengan cara mencicil dalam tenggang waktu sesuai dengan putusan hakim.
(2) Jika pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar penuh dalam tenggang waktu yang ditetapkan maka untuk pidana denda yang tidak dibayar tersebut dapat diambil dari kekayaan atau pendapatan terpidana.

Paragraf 7
Pidana Pengganti Denda Kategori I

Pasal 83
(1) Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) tidak memungkinkan maka pidana pidana denda yang tidak dibayar tersebut diganti dengan pidana kerja sosial pidana pengawasan atau pidana penjara dengan ketentuan pidana pidana denda tersebut tidak melebihi pidana denda Kategori I.
(2) Lamanya pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah:
a. untuk pidana kerja sosial pengganti berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4);
b. untuk pidana pengawasan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun;
c. untuk pidana penjara pengganti paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 1 (satu) tahun yang dapat diperberat paling lama 1 (satu) tahun 4 (empat) bulan jika ada pemberatan pidana denda karena perbarengan atau karena adanya faktor pemberatan pidana sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 134.
(3) Perhitungan lamanya pidana pengganti didasarkan pada ukuran untuk setiap pidana denda Rp2.500 (dua ribu lima ratus rupiah) atau kurang disepadankan dengan:
a. 1 (satu) jam pidana kerja sosial pengganti;
b. 1 (satu) hari pidana pengawasan atau pidana penjara pengganti.
(4) Jika setelah menjalani pidana pengganti sebagian pidana denda dibayar maka lamanya pidana pengganti dikurangi menurut ukuran yang sepadan sebagaimana ketentuan pada ayat (3).

Paragraf 8
Pidana Pengganti Denda Melebihi Kategori I

Pasal 84
(1) Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) tidak dapat dilakukan maka untuk pidana denda di atas kategori I yang tidak dibayar diganti dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama sebagaimana yang diancamkan untuk tindak pidana yang bersangkutan.
(2) Ketentuan Pasal 83 ayat (4) berlaku untuk pasal ini sepanjang mengenai pidana penjara pengganti.

Paragraf 9
Pidana Pengganti Denda untuk Korporasi

Pasal 85
Jika pengambilan kekayaan atau pendapatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2) tidak dapat dilakukan maka untuk korporasi dikenakan pidana pengganti berupa pencabutan izin usaha atau pembubaran korporasi.

Paragraf 10
Pidana Kerja Sosial

Pasal 86
(1) Jika pidana penjara yang akan dijatuhkan tidak lebih dari 6 (enam) bulan atau pidana denda tidak lebih dari pidana denda Kategori I maka pidana penjara atau pidana pidana denda tersebut dapat diganti dengan pidana kerja sosial.
(2) Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
a. pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan;
b. usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial;
d. riwayat sosial terdakwa;
e. perlindungan keselamatan kerja terdakwa;
f. keyakinan agama dan politik terdakwa; dan
g. kemampuan terdakwa membayar pidana denda.
(3) Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan.
(4) Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama:
a. 240 (dua ratus empat puluh) jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan
b. 120 (seratus dua puluh) jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.
(5) Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam.
(6) Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat.
(7) Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah maka terpidana diperintahkan:
a. mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut;
b. menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau
c. membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar.

Paragraf 11
Pidana Mati

Pasal 87
Pidana mati secara alternatif dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat.

Pasal 88
(1) Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak.
(2) Pelaksanaan pidana mati sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan di muka umum.
(3) Pelaksanaan pidana mati terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh.
(4) Pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden.

Pasal 89
(1) Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun jika:
a. reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar;
b. terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki;
c. kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana tidak terlalu penting; dan
d. ada alasan yang meringankan.
(2) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dengan Keputusan Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia.
(3) Jika terpidana selama masa percobaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki maka pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah Jaksa Agung.

Pasal 90
Jika permohonan grasi terpidana mati ditolak dan pidana mati tidak dilaksanakan selama 10 (sepuluh) tahun bukan karena terpidana melarikan diri maka pidana mati tersebut dapat diubah menjadi pidana seumur hidup dengan Keputusan Presiden.

Paragraf 12
Pidana Tambahan

Pasal 91
(1) Hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (1) huruf a terpidana yang dapat dicabut adalah:
a. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
b. hak menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia;
c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. hak menjadi penasihat hukum atau pengurus atas penetapan pengadilan;
e. hak menjadi wali wali pengawas pengampu atau pengampu pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri;
f. hak menjalankan kekuasaan bapak menjalankan perwalian atau pengampu atas anaknya sendiri; dan/atau
g. hak menjalankan profesi tertentu.
(2) Jika terpidana adalah korporasi maka hak yang dicabut adalah segala hak yang diperoleh korporasi.

Pasal 92
Kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan pencabutan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) huruf a dan huruf b hanya dapat dilakukan jika pembuat dipidana karena:
a. melakukan tindak pidana jabatan atau tindak pidana yang melanggar kewajiban khusus suatu jabatan; atau
b. menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang diberikan kepada terpidana karena jabatannya.

Pasal 93
Kekuasaan bapak wali wali pengawas pengampu dan pengampu pengawas baik atas anaknya sendiri maupun atas anak orang lain dapat dicabut jika yang bersangkutan dipidana karena:
a. dengan sengaja melakukan tindak pidana bersama-sama dengan anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya; atau
b. melakukan tindak pidana terhadap anak yang belum cukup umur yang berada dalam kekuasaannya sebagaimana dimaksud dalam Buku Kedua.

Pasal 94
(1) Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan maka wajib ditentukan lamanya pencabutan sebagai berikut:
a. dalam hal dijatuhkan pidana mati atau pidana seumur hidup pencabutan hak untuk selamanya;
b. dalam hal dijatuhkan pidana penjara pidana tutupan atau pidana pengawasan untuk waktu tertentu pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih lama dari pidana pokok yang dijatuhkan;
c. dalam hal pidana denda pencabutan hak paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
(2) Jika pidana pencabutan hak dijatuhkan pada korporasi maka hakim bebas dalam menentukan lama pencabutan hak tersebut.
(3) Pidana pencabutan hak mulai berlaku pada tanggal putusan hakim dapat dilaksanakan.

Pasal 95
(1) Pidana perampasan barang dan/atau tagihan tertentu dapat dijatuhkan tanpa pidana pokok jika ancaman pidana penjara terhadap tindak pidana yang bersangkutan tidak lebih dari 7 (tujuh) tahun.
(2) Pidana perampasan barang tertentu dan/atau tagihan dapat juga dijatuhkan jika terpidana hanya dikenakan tindakan.
(3) Pidana perampasan barang yang bukan milik terpidana tidak dapat dijatuhkan jika hak pihak ketiga dengan itikad baik akan terganggu.

Pasal 96
Barang yang dapat dirampas adalah:
a. barang dan/atau tagihan milik terpidana atau orang lain yang diperoleh dari tindak pidana;
b. barang yang ada hubungan dengan terwujudnya tindak pidana;
c. barang yang dipergunakan untuk mewujudkan atau mempersiapkan tindak pidana;
d. barang yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana; dan/atau
e. barang yang khusus dibuat atau diperuntukkan untuk mewujudkan tindak pidana.

Pasal 97
(1) Pidana perampasan dapat dijatuhkan atas barang yang tidak disita dengan menentukan barang tersebut harus diserahkan atau diganti dengan sejumlah uang menurut penafsiran hakim.
(2) Jika barang yang disita tidak dapat diserahkan maka dapat diganti dengan sejumlah uang menurut taksiran hakim sebagai menetapkan harga lawannya.
(3) Jika terpidana tidak mampu membayar seluruh atau sebagian harga lawan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana denda.

Pasal 98
(1) Jika dalam putusan hakim diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus ditetapkan cara melaksanakan pengumuman tersebut dengan biaya yang ditanggung oleh terpidana.
(2) Jika biaya pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.

Pasal 99
(1) Dalam putusan hakim dapat ditetapkan kewajiban terpidana untuk melaksanakan pembayaran ganti kerugian kepada korban atau ahli warisnya.
(2) Jika kewajiban pembayaran ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilaksanakan maka berlaku ketentuan pidana penjara pengganti untuk pidana denda.

Pasal 100
(1) Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 1 ayat (4) hakim dapat menetapkan pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat.
(2) Pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pidana pokok atau yang diutamakan jika tindak pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (3).
(3) Kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggap sebanding dengan pidana denda Kategori I dan dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda jika kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat itu tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana.
(4) Pidana pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat juga berupa pidana ganti kerugian.

Bagian Ketiga
Tindakan

Pasal 101
(1) Setiap orang yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dikenakan tindakan berupa:
a. perawatan di rumah sakit jiwa;
b. penyerahan kepada pemerintah; atau
c. penyerahan kepada seseorang.
(2) Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa:
a. pencabutan surat izin mengemudi;
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
c. perbaikan akibat tindak pidana;
d. latihan kerja;
e. rehabilitasi; dan/atau
f. perawatan di lembaga.

Pasal 102
Dalam menjatuhkan putusan yang berupa pengenaan tindakan wajib diperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55.

Pasal 103
(1) Putusan tindakan berupa perawatan di rumah sakit jiwa dijatuhkan setelah pembuat tindak pidana dilepaskan dari segala tuntutan hukum dan yang bersangkutan masih dianggap berbahaya berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.
(2) Pembebasan dari tindakan perawatan di rumah sakit jiwa dikenakan jika yang bersangkutan dianggap tidak berbahaya lagi dan tidak memerlukan perawatan lebih lanjut berdasarkan surat keterangan dari dokter ahli.

Pasal 104
(1) Tindakan penyerahan kepada pemerintah bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat.
(2) Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan.

Pasal 105
(1) Tindakan berupa penyerahan kepada seseorang dapat dikenakan kepada pembuat tindak pidana dewasa.
(2) Tindakan penyerahan kepada seseorang bagi orang dewasa dilakukan demi kepentingan masyarakat.
(3) Dalam putusan hakim ditentukan tempat dan bagaimana tindakan harus dijalankan.

Pasal 106
(1) Tindakan berupa pencabutan surat izin mengemudi dikenakan setelah mempertimbangkan:
a. keadaan yang menyertai tindak pidana yang dilakukan;
b. keadaan yang menyertai pembuat tindak pidana; atau
c. kaitan pemilikan surat izin mengemudi dengan usaha mencari nafkah.
(2) Jika surat izin mengemudi dikeluarkan oleh negara lain maka pencabutan surat izin mengemudi dapat diganti dengan larangan menggunakan surat izin tersebut di wilayah negara Republik Indonesia.
(3) Jangka waktu pencabutan surat izin mengemudi berlaku antara 1 (satu) tahun sampai dengan 5 (lima) tahun.

Pasal 107
(1) Tindakan berupa perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana dapat berupa uang barang atau keuntungan lain.
(2) Jika hasil keuntungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berupa uang maka pembuat tindak pidana dapat mengganti dengan sejumlah uang yang ditentukan oleh hakim.

Pasal 108
Tindakan berupa perbaikan akibat tindak pidana dapat berupa perbaikan penggantian atau pembayaran harga taksiran kerusakan sebagai akibat tindak pidana tersebut.

Pasal 109
(1) Dalam mengenakan tindakan berupa latihan kerja wajib dipertimbangkan:
a. kemanfaatan bagi pembuat tindak pidana;
b. kemampuan pembuat tindak pidana; dan
c. jenis latihan kerja.
(2) Dalam menentukan jenis latihan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c wajib diperhatikan latihan kerja atau pengalaman kerja yang pernah dilakukan dan tempat tinggal pembuat tindak pidana.

Pasal 110
(1) Tindakan rehabilitasi dikenakan kepada pembuat tindak pidana yang:
a. kecanduan alkohol narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya; dan/atau
b. mengidap kelainan seksual atau yang mengidap kelainan jiwa.
(2) Rehabilitasi dilakukan di lembaga rehabilitasi medis atau sosial baik milik pemerintah maupun swasta.

Pasal 111
Tindakan perawatan di lembaga harus didasarkan atas sifat berbahayanya pembuat tindak pidana yang melakukan tindak pidana tersebut sebagai suatu kebiasaan.

Pasal 112
Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan jenis-jenis tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Pidana dan Tindakan bagi Anak

Pasal 113
(1) Anak yang belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan.
(2) Pidana dan tindakan bagi anak hanya berlaku bagi orang yang berumur antara 12 (dua belas) tahun dan 18 (delapan belas) tahun yang melakukan tindak pidana.

Pasal 114
(1) Dengan memperhatikan ketentuan mengenai tujuan dan pedoman pemidanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dan Pasal 55 demi kepentingan masa depan anak pemeriksaan di depan pengadilan dapat ditunda atau dihentikan setelah mendengar pertimbangan penyidik penuntut umum dan Petugas Kemasyarakatan.
(2) Penundaan atau penghentian pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan syarat:
a. anak tidak akan melakukan tindak pidana; dan/atau
b. anak dalam waktu tertentu harus mengganti semua atau sebagian kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatannya.

Pasal 115
Ketentuan mengenai pemberatan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 dan Pasal 135 tidak berlaku terhadap anak yang melakukan pengulangan tindak pidana.

Pasal 116
(1) Pidana pokok bagi anak terdiri atas:
a. Pidana verbal:
1. pidana peringatan; atau
2. pidana teguran keras;
b. Pidana dengan syarat:
1. pidana pembinaan di luar lembaga;
2. pidana kerja sosial; atau
3. pidana pengawasan;
c. Pidana denda; atau
d. Pidana pembatasan kebebasan:
1. pidana pembinaan di dalam lembaga;
2. pidana penjara; atau
3. pidana tutupan.
(2) Pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan barang-barang tertentu dan/atau tagihan;
b. pembayaran ganti kerugian; atau
c. pemenuhan kewajiban adat.

Pasal 117
Pidana verbal merupakan pidana ringan yang tidak mengakibatkan pembatasan kebebasan anak.

Pasal 118
(1) Pidana dengan syarat merupakan pidana yang penerapannya dikaitkan dengan syarat-syarat khusus yang ditentukan dalam putusan.
(2) Syarat-syarat khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan berpolitik.

Pasal 119
(1) Pidana pembinaan di luar lembaga dapat berupa keharusan:
a. mengikuti program bimbingan dan penyuluhan yang dilakukan oleh pejabat pembina;
b. mengikuti terapi di Rumah Sakit Jiwa; atau
c. mengikuti terapi akibat penyalahgunaan alkohol narkotika psikotropika dan zat adiktif lainnya.
(2) Jika selama pembinaan anak melanggar syarat-syarat khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memperpanjang masa pembinaan yang lamanya tidak melampaui maksimum 2 (dua) kali masa pembinaan yang belum dilaksanakan.

Pasal 120
(1) Pelaksanaan pidana kerja sosial untuk anak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 86 ayat (3) dan ayat (4) huruf b dengan memperhatikan usia layak kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Jika anak tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban dalam menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah maka pejabat pembina dapat mengusulkan kepada hakim pengawas untuk memerintahkan anak tersebut mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial yang dikenakan terhadapnya.
(3) Pidana kerja sosial untuk anak dijatuhkan paling singkat 7 (tujuh) jam dan paling lama 120 (seratus dua puluh) jam.

Pasal 121
Ketentuan mengenai pidana pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 Pasal 78 dan Pasal 79 berlaku juga terhadap pidana pengawasan anak.

Pasal 122
Ketentuan mengenai pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 dan Pasal 82 berlaku juga bagi anak sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Bagian Keempat ini.

Pasal 123
(1) Pidana denda bagi anak hanya dapat dijatuhkan terhadap anak yang telah berumur 16 (enam belas) tahun.
(2) Pidana denda yang dijatuhkan terhadap anak paling banyak 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana denda yang diancamkan terhadap orang dewasa.
(3) Minimum khusus pidana denda tidak berlaku terhadap anak.

Pasal 124
(1) Pidana pembatasan kebebasan diberlakukan dalam hal anak melakukan tindak pidana berat atau tindak pidana yang disertai dengan kekerasan.
(2) Pidana pembatasan kebebasan yang dijatuhkan terhadap anak paling lama 1/2 (satu per dua) dari maksimum pidana penjara yang diancamkan terhadap orang dewasa.
(3) Minimum khusus pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2) tidak berlaku terhadap anak.
(4) Ketentuan mengenai pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) ayat (3) ayat (4) Pasal 71 Pasal 72 Pasal 73 Pasal 74 dan Pasal 75 berlaku juga sepanjang dapat diberlakukan terhadap pidana pembatasan kebebasan terhadap anak.

Pasal 125
(1) Pidana pembinaan di dalam lembaga dilakukan di tempat latihan kerja atau lembaga pembinaan yang diselenggarakan baik oleh pemerintah maupun swasta.
(2) Jika keadaan dan perbuatan anak akan membahayakan masyarakat maka dikenakan pidana pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
(3) Pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dilaksanakan sampai anak berumur 18 (delapan belas) tahun.
(4) Anak yang telah menjalani 1/2 (satu per dua) dari lamanya pembinaan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan berkelakuan baik berhak mendapatkan pembebasan bersyarat.

Pasal 126
(1) Pidana penjara terhadap anak hanya digunakan sebagai upaya terakhir.
(2) Pidana penjara bagi anak dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Anak.
(3) Jika tindak pidana yang dilakukan anak merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka pidana yang dijatuhkan adalah pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.

Pasal 127
Ketentuan mengenai pidana tutupan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 berlaku juga terhadap anak.

Pasal 128
Ketentuan mengenai pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 Pasal 97 Pasal 99 dan Pasal 100 berlaku juga sepanjang ketentuan tersebut dapat diberlakukan terhadap anak.

Pasal 129
(1) Setiap anak yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dan Pasal 41 dapat dikenakan tindakan:
a. perawatan di rumah sakit jiwa;
b. penyerahan kepada pemerintah; atau
c. penyerahan kepada seseorang.
(2) Tindakan yang dapat dikenakan terhadap anak tanpa menjatuhkan pidana pokok adalah:
a. pengembalian kepada orang tua wali atau pengasuhnya;
b. penyerahan kepada Pemerintah;
c. penyerahan kepada seseorang;
d. keharusan mengikuti suatu latihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta;
e. pencabutan surat izin mengemudi;
f. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
g. perbaikan akibat tindak pidana;
h. rehabilitasi; dan/atau
i. perawatan di lembaga.

Pasal 130
(1) Tindakan penyerahan kepada seseorang bagi anak dilakukan demi kepentingan anak yang bersangkutan.
(2) Tindakan perawatan terhadap anak yang melakukan tindak pidana dimaksudkan untuk membantu orang tua dalam mendidik dan memberikan bimbingan kepada anak yang bersangkutan.

Pasal 131
Pelaksanaan ketentuan mengenai pidana anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 dan tindakan sebagaimana dimaksud Pasal 129 diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang.

Bagian Kelima
Faktor-faktor yang Memperingan dan Memperberat Pidana

Pasal 132
Faktor-faktor yang memperingan pidana meliputi:
a. percobaan melakukan tindak pidana;
b. pembantuan terjadinya tindak pidana;
c. penyerahan diri secara sukarela kepada yang berwajib setelah melakukan tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan oleh wanita hamil;
e. pemberian ganti kerugian yang layak atau perbaikan kerusakan secara sukarela sebagai akibat tindak pidana yang dilakukan;
f. tindak pidana yang dilakukan karena kegoncangan jiwa yang sangat hebat;
g. tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39; atau
h. faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 133
(1) Peringanan pidana adalah pengurangan 1/3 (satu per tiga) dari ancaman pidana maksimum maupun minimum khusus untuk tindak pidana tertentu.
(2) Untuk tindak pidana yang diancam pidana mati dan penjara seumur hidup maksimum pidananya penjara 15 (lima belas) tahun.
(3) Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu peringanan pidana dapat berupa perubahan jenis pidana dari yang lebih berat ke jenis pidana yang lebih ringan.

Pasal 134
Faktor-faktor yang memperberat pidana meliputi:
a. pelanggaran suatu kewajiban jabatan yang khusus diancam dengan pidana atau tindak pidana yang dilakukan oleh pegawai negeri dengan menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan;
b. penggunaan bendera kebangsaan lagu kebangsaan atau lambang negara Indonesia pada waktu melakukan tindak pidana;
c. penyalahgunaan keahlian atau profesi untuk melakukan tindak pidana;
d. tindak pidana yang dilakukan orang dewasa bersama-sama dengan anak di bawah umur 18 (delapan belas) tahun;
e. tindak pidana yang dilakukan secara bersekutu bersama-sama dengan kekerasan dengan cara yang kejam atau dengan berencana;
f. tindak pidana yang dilakukan pada waktu terjadi huru hara atau bencana alam;
g. tindak pidana yang dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya;
h. pengulangan tindak pidana; atau
i. faktor-faktor lain yang bersumber dari hukum yang hidup dalam masyarakat.

Pasal 135
Pemberatan pidana adalah penambahan 1/3 (satu per tiga) dari maksimum ancaman pidana.

Pasal 136
(1) Jika dalam suatu perkara terdapat faktor-faktor yang memperingan dan memperberat pidana secara bersama-sama maka maksimum ancaman pidana diperberat lebih dahulu kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi 1/3 (satu per tiga).
(2) Berdasarkan pertimbangan tertentu hakim dapat tidak menerapkan ketentuan mengenai peringanan dan pemberatan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Bagian Keenam
Perbarengan

Pasal 137
(1) Jika suatu perbuatan memenuhi lebih dari satu ketentuan pidana yang diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Jika suatu perbuatan diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus maka hanya dikenakan aturan pidana khusus.

Pasal 138
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang saling berhubungan sehingga dipandang sebagai perbuatan berlanjut dan diancam dengan ancaman pidana yang sama maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Jika tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diancam dengan pidana yang berbeda maka hanya dijatuhkan pidana pokok yang terberat.
(3) Ketentuan mengenai penjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tindak pidana memalsu atau merusak mata uang dan menggunakan uang palsu atau uang yang dirusak tersebut.

Pasal 139
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang sejenis maka hanya dijatuhkan satu pidana.
(2) Maksimum pidana untuk tindak pidana perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah maksimum pidana yang diancamkan pada tindak pidana tersebut tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Pasal 140
(1) Jika terjadi perbarengan beberapa tindak pidana yang harus dipandang sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri dan diancam dengan pidana pokok yang tidak sejenis maka pidana dijatuhkan adalah semua jenis pidana untuk masing-masing tindak pidana tetapi tidak melebihi maksimum pidana yang terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).
(2) Perhitungan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada lamanya maksimum pidana penjara pengganti pidana denda.
(3) Apabila tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana minimum maka minimum pidana untuk perbarengan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah jumlah pidana minimum khusus untuk masing-masing tindak pidana tetapi tidak melebihi pidana minimum khusus terberat ditambah 1/3 (satu per tiga).

Pasal 141
Jika dalam perbarengan tindak pidana dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup maka tidak boleh dijatuhi pidana lain kecuali pidana tambahan yakni:
a. pencabutan hak tertentu;
b. perampasan barang tertentu; dan/atau
c. pengumuman putusan hakim.

Pasal 142
(1) Jika terjadi perbarengan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 maka penjatuhan pidana tambahan dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. pidana-pidana pencabutan hak yang sama dijadikan satu dengan ketentuan:
1) lamanya paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun lebih daripada pidana pokok yang diancamkan atau yang dijatuhkan;
2) apabila pidana pokok yang diancamkan hanya pidana denda lamanya paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun.
b. pidana-pidana pencabutan hak yang berlainan dijatuhkan sendiri-sendiri untuk tiap tindak pidana tanpa dikurangi.
c. pidana-pidana perampasan barang tertentu atau pidana pengganti dijatuhkan sendiri-sendiri untuk tiap tindak pidana tanpa dikurangi.
(2) Lamanya pidana penjara pengganti atau pidana pengawasan pengganti tidak boleh lebih dari 1 (satu) tahun.

Pasal 143
(1) Perbandingan beratnya pidana pokok yang tidak sejenis ditentukan menurut urutan jenis pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 ayat (2) pidana mati harus dipandang sebagai pidana yang terberat.
(2) Dalam hal hakim dapat memilih antara beberapa pidana pokok hanya pidana yang terberat yang digunakan sebagai dasar perbandingan.
(3) Perbandingan beratnya pidana pokok yang sejenis ditentukan menurut maksimum ancaman pidananya.
(4) Perbandingan lamanya pidana pokok baik yang sejenis maupun yang tidak sejenis ditentukan berdasarkan maksimum ancaman pidananya.

Pasal 144
Jika seseorang setelah dijatuhi pidana dinyatakan bersalah lagi melakukan tindak pidana lain sebelum putusan pidana itu dijatuhkan maka pidana yang terdahulu diperhitungkan terhadap pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan perbarengan dalam Bab ini seperti apabila tindak pidana itu diadili secara bersamaan.



Comments