MA : Wajah Yang Belum Berubah*

Oleh: Muh. Muslih


Mahkamah Agung merupakan Lembaga Peradilan Tertinggi di negara kita. Kondisi Mahkamah Agung menggambarkan kondisi lembaga peradilan yang berada di bawahnya. Perilaku Hakim Agung mencerminkan perilaku Hakim semua lembaga peradilan di semua tingkatan.


Hingga kurang lebih enam tahun setelah reformasi kondisi Mahkamah Agung belum banyak mengalami perubahan. Mafia peradilan sampai sekarang masih berlangsung. Kinerja MA sulit dievaluasi dan dicontrol walaupun sudah ada Komisi Yudisial. Yang paling menyedihkan adalah keberanian Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Keputusan untuk memperpanjang usia pensiun Ketua Mahkamah Agung dan 9 orang Hakim Agung.

Mafia peradilan yang terjadi di lembaga peradilan di Indonesia sudah berlangsung sejak lama seperti yang ditunjukkan oleh beberapa hasil penelitihan. Daniel Kaufmann dalam laporan Bureaucratic and Judiciary Bribery tahun 1998, mengatakan tingkat korupsi di peradilan Indonesia paling tinggi di antara negara-negara Ukraina, Venezuela, Rusia, Kolombia, Yordania, Turki, Malaysia, Brunei, Afrika Selatan dan Singapura. Penelitian yang dilakukan Indonesian Corruption Watch (ICW) tahun 2002 menyebutkan bahwa mafia peradilan di MA melibatkan para pegawai, pejabat, panitera, dan para hakim. Praktik mafia itu dilakukan dengan cara; pemerasan, penyuapan, pengaturan majelis hakim favourable, calo perkara, pengaburan perkara, pemalsuan vonis, pemberian ?surat sakti?, atau vonis yang tidak bisa dieksekusi. Menurut polling yang dilakukan Kompas (10/10/05), sebagian besar responden masih mempercayai bahwa keputusan hukum dapat dibeli dengan uang dan belum meyakini bahwa hakim-hakim di Indonesia bebas KKN.

Mafia peradilan dapat diibaratkan suatu transaksi jual-beli. Penjual pihak yang mempunyai kewenangan, sedangkan pembeli kelompok yang membutuhkan kemenangan dalam suatu proses hukum. Penjual, adalah hakim yang memutuskan perkara, dan pembeli adalah terdakwa yang membutuhkan putusan bebas. Dalam praktek jual-beli tersebut, posisi panitera, pegawai pengadilan, dan advokat hanyalah makelar perkara. Sebagai calo, mereka hanya berfungsi sebagai penghubung negosiasi antara penjual dan pembeli. Ibarat makelar jual-beli tanah, mereka hanya mendapat komisi dari transaksi jual-beli. Tanah akan langsung dinikmati oleh pembeli, sedangkan penjual akan mendapatkan sebagian besar uang hasil jual-beli.

Ketua Komisi Yudisial, M. Busyro Muqoddas mengatakan, ?Mafia peradilan sudah berjalan secara sistemik,". Menurutnya ada empat bentuk modus operandi mafia peradilan yang acap terjadi di peradilan Indonesia. Modus pertama, adalah penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. "Kalau ditanyakan ke panitera, akan dapat sinyal bahwa hakim minta sesuatu,"ujar Busyro. Modus kedua, manipulasi fakta hukum. "Hakim sengaja tidak memberi penilaian terhadap satu fakta atau bukti tertentu sehingga putusannya ringan, atau bebas,"kata Busyro. Modus ketiga, adalah manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Majelis hakim, mencari peraturan hukum sendiri sehingga fakta-fakta hukum ditafsirkan berbeda. "Akhirnya juga sama, bebas,"kata Busyro. Modus terakhir, pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Terutama pada kasus korupsi. "Dibuat agar terdakwa melakukan hal tersebut atas perintah atasan, sehingga terdakwa dibebaskan,"ujar Busyro.

Semnentara Ketua Muda Bidang Pengawasan Gunanto Suryono dalam keterangannya mengatakan, berdasarkan penelusuran internal MA modus operasi mafia peradilan di MA adalah membuat putusan palsu atau fiktif. Bagi staf di lingkungan MA, membuat putusan palsu sangat gampang. Pernyataan ini setidaknya mengakui kebenaran adanya praktik mafia peradilan dilingkungan MA. Berbeda dengan Ketua Muda Bidang Pengawasan, Ketua MA Bagir Manan menyatakan (2/11/05), ?Mafia Peradilan sebagai organized crime tidak ada, yang ada adalah orang dalam maupun luar peradilan yang melakukan perbuatan melawan hukum?.
Mafia peradilan baik yang terjadi dilingkungan MA maupun dilembaga peradilan di bawahnya dapat digambarkan sebagai berikut; Pertama, Mafia Peradilan pada Penanganan Perkara Probo Sutedjo. Perkara Probo Sutedjo adalah perkara korupsi dana reboisasi Hutan Tanaman Industri di Kalimantan Selatan yang merugikan uang negara Rp. 100.931 M. Sebelumnya, oleh pengadilan negeri Jakarta Pusat (23/4/03) Probosutedjo divonis 4 tahun penjara. Kurang lebih setahun kemudian (14/1/04), PT Jakarta menghukum Probo dengan hukuman 2 tahun penjara dan Probo langsung mengajukan kasasi. Pada tingkat kasasi Perkara ini ditangani oleh trio Hakim Agung Bagir Manan, Parman Suparman, dan Usman Karim.

Karena merasa diperas oleh orang-orang yang akan mengurus perkaranya di MA, Probo Sutedjo melapor ke KPK. Probosutedjo mengaku bahwa dirinya dimintai uang oleh Harini Wiyoso yang datang menemuinya dan menawarkan putusan bebas dengan imbalan Rp. 6 M. Harini adalah pengacara Probo pada tingkat kasasi yang juga mantan hakim pengadilan tinggi Yogyakarta. Uang itu akan diberikan kepada Bagir Manan sebanyak Rp. 5 M, dan sisanya akan dibagi-bagi. Probo juga mengaku bahwa untuk mengurus perkara ini, dirinya telah menghabiskan uang Rp.16 M. Berdasarkan laporan tersebut pada tanggal 29 September 2005, KPK menangkap lima karyawan MA yaitu Sriyadi (anggota staf Direktorat Perdata MA), Sinuhadji (Kepala Bagian Kepegawaian MA), Pono Waluyo (anggota staf bagian kendaraan MA), Suhartoyo (Wakil Sekretaris Korpri MA), dan Sudi Ahmad (anggota staf Suhartoyo di Korpri MA) dan Harini Wijoso (mantan hakim di Pengadilan Tinggi Yogyakarta yang menjadi pengacaranya.

Pada proses penyidikan, Pono Waluyo mengatakan bahwa dirinya diminta Harini untuk mencari jalan mengurus perkara ke Bagir Manan. Pono mempercayakan kepada Sudi Ahmad sebagai penghubung. Bersama ?tim?nya, Sudi kemudian menyerahkan salinan putusan bebas ke Pono. Berbekal ?salinan putusan? itu, Pono segera menghubungi Harini. Pono meminta uang Rp. 100 juta sebagai panjer biaya operasional Bagir Manan yang akan diberikan melalui asistennya. Pada tanggal 29/11/05 Harini bersama dengan Pono, menunjukkan salinan putusan kepada Probosutedjo, sekaligus meminta uang Rp. 5 M sebagai imbalan yang diminta oleh Bagir Manan. Oleh Pono, uang itu dititipkan kepada Sudi Ahmad, yang akan diserahkan kepada Abdul Hamid (Kepala Seksi Pengamatan Pidana).

Sementara Bagir Manan menyatakan bahwa dirinya tidak tahu dan tidak mengenal sama sekali kelima pegawai MA tersebut. Bagir mengaku pernah bertemu Harini beberapa bulan lalu ketika Harini berpamitan selaku pensiunan hakim tinggi Yogyakarta. Bagir Manan juga menyatakan bahwa dirinya siap untuk diperiksa, bahkan telah memerintahkan seluruh anak buahnya untuk bekerja sama dengan KPK dan Komisi Yudisial.

Kedua, Mafia Peradilan pada Perkara Suap yang Dilakukan Popon. Tengku Sayifuddin alias Popon adalah pengacara Abdullah Puteh (Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam) dalam perkara korupsi APBD Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Untuk memenangkan perkara tersebut Popon meminta bantuan kepada Ramadhan Rizal (wakil panitera Pengadilan Tinggi DKI Jakarta) dan Mohamad Soleh (panitera muda Pengadilan Tinggi Jakarta) dengan imbalan uang Rp 249.900.000,-. Setelah menyerahkan uang imbalan tersebut, Popon menanyakan setiap perkembangan kasus Abdullah Puteh kepada Mochammad Soleh yang memberikan informasi bahwa Majelis hakim telah melakukan musyawarah pada tanggal 13 Juni 2005. Perbuatan Mochammad Soleh dan Ramadhan Rizal selaku wakil panitera dan panitera muda di penagadilan Tinggi Jakarta bertentangan dengan kewajibannya yang seharusnya menjaga dan merahasiakan informasi persidangan. Karena penyuapan tersebut, Popon dijatuhi hukuman dua tahun tiga bulan penjara dipotong masa tahanan. Sedangkan Ramadhan Rizal dan Mohamad Soleh masing-masing dijatuhii hukuman dua setengah tahun penjara potong masa tahanan.

Terungkapnya kasus mafia peradilan ini berawal dari penggerebekan yang dilakukan oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada saat terjadi transaksi serah terima uang sebesar Rp 249.900.000,- (dua ratus empat puluh sembilan juta sembilan ratus ribu rupiah) dari Popon kepada Ramadhan Rizal dan Mohamad Soleh di ruang kerja Ramadhan Rizal. Popon kemudian diajukan ke persidangan dengan dakwaan primer, melanggar pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Subsider, Pasal 13 Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Jaksa KPK melihat kasus ini telah memenuhi unsur-unsur pidana; Pettama, Unsur setiap 0rang yaitu seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatan yang telah dilakukan; Kedua, Unsur perbuatan hukum yang diancam dengan pidana yaitu memberikan atau janji sesuatu yang dibuktikan dengan perbuatan Popon menyerahkan uang sebesar Rp 249.900.000,- (dua ratus empat puluh sembilan juta sembilan ratus ribu rupiah) kepada Ramadhan Rizal dan Mochammad Soleh; Ketiga, Unsur kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yaitu penerima suap Ramadhan Rizal dan Mohamad Soleh adalah pegawai negeri sipil pada Pengadilan Tinggi DKI Jakarta; Keempat, Unsur dengan maksud yaitu supaya pegawai negeri atau penyelenggara Negara tersebut berbuat atau tidak berbuat dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannnya. Kasus Popon ini menujukkan salah satu potret mafia peradilan yang dilakukan antara pengacara dan panitera atau pegawai pengadilan yang mungkin sering kita dengar tetapi sulit untuk diungkap.

Ketiga, Mafia Peradilan pada Penanganan Perkara Jamsostek. Perkara Jamsostek merupakan perkara korupsi yang melibatkan Mantan Direktur Utama PT Jamsostek Ahmad Djunaidi dan Direktur Investasi Jamsostek Andi R. Alamsyah. Ahmad Djunaidi dijerat dengan Pasal 2 jo Pasal 18 UU No 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo UU No 20/2001 tentang Perubahan UU 31/1999, jo Pasal 55 ayat 1 ke (1) jo Pasal 65 ayat 1 KUHP, yang diancam pidana seumur hidup.

Terkait dengan proses penanganan perkara tersebut, Pada Selasa (3/1) malam Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor) telah menangkap Jimmy Lumanow (panitera PN Jakarta Selatan) yang diduga memeras saksi Walter Sigalinging. Jimmy tertangkap tangan saat bertransaksi dengan Walter Sigalinging. Jimmy langsung ditetapkan sebagai tersangka, sedangkan Walter berstatus saksi. Kepada penyidik, Jimmy mengaku diperintah Herman Alossitandi yang menjadi Ketua Majelis Hakim Kasus PT Jamsostek dengan terdakwa Ahmad Djunaidi.

Pada tanggal 9 Januari 2006, Tim Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tastipikor) menangkap hakim PN Jakarta Selatan, Herman Alossitandi (Ketua Majelis Hakim Kasus PT Jamsostek). Herman ditangkap di rumahnya, Senin (9/1) pagi setelah kembali dari Surabaya, Jawa Timur. Herman diduga berkomplot dengan Jimmy Lumanauw, untuk memeras satu saksi kasus Jamsostek dengan meminta uang sekitar Rp 200 juta. Akibat perbuatannya, Herman dijerat dengan pasal 12 huruf (e) UU no 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal seumur hidup. Herman Alossitandi sekarang dalam proses penyidikan dan berstatus tahanan Mabes Polri. Berdasarkan Surat Perintah Penangkapan dan Surat Perintah Penahanan yang ditandatangani oleh Wakil Ketua Timtastipikor Brigjen Polisi Indarto.
Disamping tiga contoh di atas, Mafia Peradilan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama dan sudah ada beberapa kasus yang pernah diungkap. Kasus mafia peradilan yang pernah diungkap di MA dapat dilihat pada Tabel Kasus-Kasus Mafia Peradilan Yang Pernah Terungkap di MA

Kinerja MA sulit dievaluasi dan dikontrol

Terkait dengan kasus suap di MA pada penanganan perkara Probo Sutedjo, KPK memanggil Ketua MA Bagir Manan untuk diperiksa. Ketua MA Bagir Manan tidak memenuhi panggilan pemeriksaan KPK. Ketua KPK dan ketua MA kemudian dipanggil oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke istana. Ketua MA,Bagir Manan, akhirnya mau diperiksan oleh KPK, meski KPK harus mendatangi kantor Bagir Manan. Pada awalnya Ketua MA, Bagir Manan, juga menolak memberikan izin kepada KPK untuk melakukan pemeriksaan terhadap Ketua PN Jakarta Pusat, I Made Karna dan hakim agung, Harifin A Tumpa.

Masih terkait dengan kasus yang sama, Ketua Komisi Yudisial, Busyro Muqoddas, memberikan himbauan agar Ketua MA Bagir Manan mengganti majelis kasasi yang memeriksa perkara Probosutedjo. Majelis Hakim tersebut terdiri dari Bagir Manan sebagai Ketua, Parman Suparman dan Usman Karim sebagai anggota. Terkait dengan himbauan Ketua Komisi Yudisial, Ketua MA Bagir Manan menyatakan menolak dengan alasan, Majelis Hakim tidak terkait dengan peristiwa suap. Bagir justru mempertanyakan mengapa Parman dan Usman yang menurutnya telah bekerja dengan baik, malah diminta untuk diganti. ?Kecuali kalau mereka terbukti terlibat dalam perkara ini,? katanya.

Pada 2005, KY telah memanggil hakim agung yang menangani perkara kasasi Probosutedjo, yakni Ketua majelis hakim yang juga Ketua MA Bagir Manan dan Parman Soeparman serta Usman Karim sebagai hakim anggota karena adanya isu suap. Namun, sampai saat ini hanya Parman Soeparman dan Usman Karim yang memenuhi panggilan KY. Sedangkan Bagir Manan menolak untuk datang pada panggilan pertama. Menurut Busyro, KY akan merencanakan tanggal yang tepat untuk pemanggilan kedua Bagir Manan pada pertengahan Februari 2006. Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, KY juga beberapa kali memberikan rekomendasi kepada MA, namun rekomendasi tersebut tidak dihiraukan oleh Ketua MA Bagir Manan.

Rekomendasi dan panggilan KY diabaikan oleh Mahkamah Agung, hal ini terjadi karena hasil pengawasan KY dimandulkan dalam legislasi dimana rekomendasi KY disampaikan kepada pimpinan MA atau pimpinan Mahkamah Konstitusi untuk diselesaikan oleh Majelis Kehormatan Hakim. Untuk hakim agung diselesaikan oleh Majelis Kehormatan MA, diatur oleh MA dan beranggotakan para hakim agung (Pasal 12 UU No 14/1985 jo UU No 5/2004). Pengawasan oleh KY dapat diwujudkan melalui evaluasi kinerja hakim, sebagai instrumen untuk menilai perilaku profesional hakim, mengusulkan sanksi dan penghargaan bagi mereka.

Menurut hasil amandemen UUD 1945, KY berwenang melakukan tindakan guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Wewenang konstitusional itu disebutkan dalam UU KY 2004 (Pasal 20-23), yaitu melakukan pengawasan atas perilaku hakim dan mengusulkan penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian. Dari evaluasi terhadap kinerja Hakim Agung, terdapat indikasi adanya praktek mafia peradilan yang berlangsung secara sistemik dan melibatkan pejabat maupun pegawai MA. Busyro menilai jika terbukti ada hakim yang terlibat mafia peradilan, maka hakim tersebut sangat layak dihukum berat. "Termasuk hukuman mati. Ini diperlukan untuk memberi rasa perlindungan hukum bagi masyarakat," katanya. Komisi Yudisial pun melalui ketuanya, Busyro Muqoddas, mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yakni pemilihan ulang terhadap 49 hakim agung di tubuh MA. Langkah ini disetujui Presiden dan Komisi Yudisial sedang menyiapkan Perppu untuk merealisasikan semua itu.

SK Perpanjangan Pensiun Wujud Sikap Otoriter MA

Di tengah gencarnya isu mengenai Seleksi Ulang Hakim Agung yang digulirkan oleh Komisi Yudisial, MA mengeluarkan 2 (dua) Surat Keputusan. Pertama, SK Nomor: KMA/119/SK/VI/2005 tertanggal 20 Juni 2005 yang isinya memperpanjang masa pensiun 9 (sembilan) orang Hakim Agung yaitu: (1) Ny Susanti Adi Nugroho; (2) Ny. Titiek Nurmala Siagian; (3) M. Bahaudin Qoudry; (4) Ny. Marianna Sutadi Nasution; (5) H. Parman Suparman; (6) Kaimuddin Salle; (7) Iskandar Kamil; (8) Sudarno; dan (9) German Hoediarto. Kedua, SK Nomor KMA/127A/SK/VII/2005 yang ditandatangani sendiri oleh ketua MA pada tanggal 18 Juli 2005. SK ini merupakan hasil rapat pleno Hakim Agung pada 14 Juli 2005 yang dipimpin Mariana Sutadi (wakil ketua MA bidang non yudisial), yang menetapkan perpanjangan masa jabatan Prof. Dr. BAGIR MANAN,SH, M.CL.

Di dalam kedua SK tersebut ada beberapa pertimbangan yang dikemukakan, yaitu; Pertama, Tunggakan perkara di MA yang masih cukup banyak, sementara untuk menambah Hakim Agung dalam waktu dekat tidak memungkinkan; Kedua, MA masih Memerlukan Hakim Agung yang memiliki keahlian di bidang hukum Tata Negara untuk menyelesaikan perkara-perkara khusus dibidang tata usaha negara; Ketiga, Berdasarkan keterangan dokter, Bagir Manan dan 9 Hakim Agung tersebut masih cukup sehat jasmani dan rohani untuk melaksanakan tugas-tugasnya sebagai Hakim Agung; Keempat, Berdasarkan penilaian Ketua MA, kesembilan Hakim Agung yang bersangkutan telah menjalankan tugas-tugasnya.

Dua SK Mahkamah Agung yang ditandatangani oleh Ketua MA Bagir Manan tersebut menunjukkan sikap otoriter MA, dimana MA sama sekali tidak melibatkan unsur eksternal khususnya Komisi Yudisial yang oleh Konstitusi diberikan wewenang untuk melakukan tindakan guna menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Wewenang konstitusional itu disebutkan dalam UU KY 2004 (Pasal 20-23), yaitu melakukan pengawasan atas perilaku hakim dan mengusulkan penjatuhan sanksi berupa teguran tertulis, pemberhentian sementara atau pemberhentian. Menanggapi keluarnya dua SK Ketua MA tersebut, Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) dalam siaran persnya di Jakarta (24/01/06) menyoroti beberapa hal yaitu:

Pertama, Jika merujuk pada Pasal 11 ayat (2) UU MA, terdapat 2 (dua) syarat yang harus dipenuhi untuk memperpanjang masa pensiun Hakim Agung, yaitu adanya Prestasi Luar Biasa dan keterangan dokter yang menyatakan sehat jasmani dan rohani. UU MA memang tidak mendefinisikan secara jelas yang dimaksud dengan Prestasi Luar Biasa tersebut, penjelasan pasal tersebut hanya menyebutkan bahwa yang dimaksud Prestasi Kerja Luar Biasa diatur oleh ketentuan MA sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Jika dilihat dari penjelasan pasal tersebut maka kewenangan MA seharusnya hanyalah menentukan kriteria dari Prestasi (kerja) Luar Biasa yang dimaksud, itu pun harus SESUAI dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Dan setiap perpanjangan masa pensiun Hakim Agung harus didasarkan pada ketentuan tersebut (yang hingga saat ini belum pernah dirumuskan). Adapun pengambilan keputusan soal perpanjangan masa jabatan Hakim Agung, harus melibatkan pihak eksternal, terutama Komisi Yudisial, sehingga pelaksanaannya tidak sepihak/subjektif. Sementara konsideran kedua SK di atas, MA (Ketua MA) tidak menyinggung sedikit pun mengenai Prestasi Luar Biasa apa yang telah dicapai oleh Dirinya serta 9 (sembilan) orang Hakim Agung lainnya. MA (Ketua MA) hanya menyebutkan bahwa mereka (9 orang Hakim Agung) telah menjalankan tugas-tugas dengan baik.

Kedua, Pertimbangan banyaknya tunggakan perkara di MA sebagai dasar perpanjangan pensiun Hakim Agung tidak tepat dan terkesan dicari-cari. Karena diperpanjangnya masa pensiun 10 Hakim Agung tersebut juga tidak menjamin masalah tunggakan perkara di MA sebanyak 20 ribu lebih perkara akan selesai.

Ketiga. Pertimbangan bahwa Hakim Agung yang bersangkutan mempunyai keahlian khusus di bidang hukum yang sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara-perkara di MA selain bukan merupakan syarat yang ditentukan oleh UU MA untuk perpanjangan pensiun Hakim Agung juga dinilai mengada-ada. Sebab jika memerlukan Hakim Agung yang memiliki keahlian khusus, bukankah MA dapat meminta Komisi Yudisial untuk melakukan proses rekrutmen Hakim Agung?

Keempat, Surat Wakil Sekretaris Kabinet RI nomor R.06/waseskab/05/04 tanggal 21 Mei 2004, yang menjadi dasar pertimbangan MA untuk memperpanjang sendiri masa pensiun Hakim-Hakim Agungnya, tidak memiliki konsekuensi hukum apapun, oleh karena surat tersebut dibuat pada 21 Mei 2004, jauh sebelum UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial disahkan (13 Agustus 2004). Atas dasar tersebut maka seharusnya Surat Wasekab tersebut harus diabaikan Tidak pantas Surat pejabat yang sudah berusia lebih dari 1 tahun, yang tidak punya kekuatan hukum apa-apa, dan materinya tidak sesuai lagi dengan UU Komisi Yudisial yang diundangkan beberapa bulan berikutnya, masih dijadikan pertimbangan oleh MA untuk memanjangkan masa jabatan Hakim-Hakim Agung-nya pada 2005.

Kelima, Langkah yang dilakukan Ketua MA harus dinilai sebagai pengingkaran pimpinan MA terhadap keberadaan Komisi Yudisial. Dalam hal adanya Hakim Agung yang akan pensiun seharusnya Pihak MA melaporkan hal tersebut kepada Komisi Yudisial. Berdasarkan pasal 14 UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial menyebutkan ?Dalam hal berakhir masa jabatan Hakim Agung, Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama Hakim Agung yang bersangkutan, dalam jangka waktu paling lambat 6 (enam) bulan sebelum berakhirnya jabatan tersebut?. Selanjutnya Komisi Yudisial melakukan proses-proses pengusulan calon Hakim Agung kepada DPR RI.

Keenam, Pengingkaran terhadap keberadaan Komisi Yudisial juga semakin tegas jika dilihat tercapainya usia 65 tahun para Hakim Agung tersebut, sebagian besar terjadi pada akhir 2006 (setelah Komisi Yudisial terbentuk dan bekerja). Untuk apa Ketua MA mengeluarkan Surat Keputusan lebih dari satu tahun SEBELUM Hakim-Hakim Agung tersebut mencapainya usia 65 tahun (20 Juni 2005 dan 18 Juli 2005), kalau tidak untuk melangkahi Komisi Yudisial yang baru dilantik Presiden pada tanggal 2 Agustus 2005.

Ketujuh, Secara hukum, SK Ketua MA batal demi hukum karena terbukti bertentangan dengan Konstitusi (Pasal 24 Amandemen Ketiga UUD 45) serta UU No 5 tahun 2004 dan UU No. 22 tahun 2004. Kedelapan, Tindakan Ketua/Pimpinan MA dengan mengeluarkan SK perpanjangan pensiun merupakan suatu yang tidak etis dan dapat menjadi salah satu dasar yang kuat untuk dilakukan seleksi ulang hakim agung.

Selain menjelaskan permasahan yang ada dari terbitnya surat perpanjangan usia pensiun terhadap Bagir manan pada (18/07/05). Koalisi Pemantaua Peradilan Mendesak Ketua MA Agar untuk; Pertama, Mencabut dua SK mengenai perpanjangan pensiun bagi dirinya dan 9 Hakim Agung lainnya. Kedua, Melaporkan Hakim-Hakim Agung yang akan pensiun kepada Komisi Yudisial untuk segera melakukan proses seleksi calon Hakim Agung sebagaimana dimandatkan oleh UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

Maraknya praktek mafia peradilan, Lemahnya mekanisme control terhadap kinerja MA dan sikap otoriter MA sangat merusak system peradilan dan merugikan masyarakat pencari keadilan. Reformasi hukum yang kemudian dituangkan dalam agenda pembaruan MA (blue print MA) belum dilaksanakan secara maksimal dan belum menjangkau untuk membersihkan praktek mafia peradilan. Pembaruan pada institusi peradilan baru nampak pada permukaan, pada proses seleksi Hakim Agung melalui mekanisme DPR dan Presiden. Namun sejauh ini hasilnya belum banyak membawa perubahan yang dapat mengembalikan rasa keadilan dan citra MA sebagai institusi peradilan tertinggi.

Sudah saatnya reformasi peradilan dilakukan dengan cara yang lebih progresif, radikal dan sistemik. Usulan Komisi Yudisial mengenai seleksi ulang hakim agung untuk membenahi kelemahan manajemen dan kepemimpinan di Mahkamah Agung dapat menjadi terapi kejut reformasi peradilan dan harus didukung oleh semua pihak yang masih mengharapkan adanya keadilan di negeri ini. Namun reformasi peradilan tidak boleh berhenti di sini, dan harus dilanjutkan dengan langkah-langkah selanjutnya. Menurut Kebijakan Reformasi Hukum (Komisi Hukum Nasional, 2003: 108-119) dikemukakan tiga langkah kebijakan untuk perekrutan dan karier hakim. Pertama, seleksi ulang untuk pengadaan hakim (bukan hanya hakim agung). Mereka yang lulus seleksi ulang ditempatkan kembali sebagai hakim. Yang gagal dipensiun dini atau dipekerjakan sebagai nonhakim. Kedua, penetapan standar profesi hakim, standar putusan pengadilan (hakim) sebagai pedoman membuat putusan sekaligus batu uji (parameter) untuk menilai putusan hakim serta kode etik hakim. Ketiga, kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi hukum yang memiliki akreditasi baik untuk perekrutan ?bibit unggul? hakim.

Disamping itu perlu memberikan kewenangan yang lebih luas kepada KY untuk mengevaluasi kinerja hakim. Evaluasi kinerja hakim lebih mendasar jika KY dapat mengevaluasi kinerja hakim (assessment of judicial performance). Menurut Mohammad Fajrul Falaakh (Kompas, 20 Januari 2006) ada empat alasan untuk memperluas kewenangan KY dalam mengevaluasi kinerja hakim, yaitu: (1) model pengawasan KY dimandulkan jadi pola anti-akuntabilitas publik; (2) kebutuhan instrumen kerja KY; (3) kelemahan model evaluasi yang sudah ada dan dikritik MA; (4) harapan dan dukungan positif dari masyarakat maupun kalangan hakim yang lebih luas.

*tulisan ini juga dimuat di www.reformasihukum.org

Comments