Wajah buram Otonomi Daerah

Oleh
Iwan Farojih & M. Jodi Santoso

Setelah berjalan efektive selama hampir 9 tahun, desentralisasi sebagai titik balik sentralisasi menunujukkan wajah yang plural namun di bawah standar dari tujuan yang hendak dicapai. Korupsi APBD, gaji dan fasilitas yang fantastis, mark up anggaran pengadaan barang dan jasa berhimpitan dengan gizi buruk, anak putus sekolah, bangunan sekolah reot dan roboh, kesejahteraan guru memprihatinkan, kemiskinan dan pengangguran merupakan peristiwa yang mendominasi wajah pemerintah daerah. Entah apakah dalam benak para elit politik daerah tidak memikirkan kaitan antara peristiwa-peristiwa tersebut dengan perilaku mereka. Mungkin mereka menganggap masalah kemiskinan, pengangguran, gizi buruk adalah masalah individu di mana pemerintah hanya bisa membantu kalau bisa.


Tampilan Otonomi Daerah yang begitu paradoks tidak dapat dilepaskan dari pendekatan politik kekuasaan dalam penyusunan Undang-Undang Pemerintahan Daerah baik UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004, yang motovasi utamanya untuk menghindarkan diri dari disintegrasi, sementara semangat untuk membangun demokrasi di tingkat lokal tidak mendapatkan porsi yang memadai. Konstruksi yuridis UU 22 tahun 1999 maupun UU 32 tahun 2004 hanya menggeser pusat kekuasaan dari elit politik pusat kepada elit politik daerah sebagai bentuk akomodasi politik kekuasaan terhadap usaha memisahkan diri dari NKRI yang sebagiannya dikomandani oleh elit politik daerah, sementara konstruksi yang mampu menciptakan tatanan yang cheks and balance antara masyarakat dan pemerintahan daerah dilupakan oleh UU ini. Dalam hal hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah bisa kita sebut telah ada desentralisasi namun dalam hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakat tetap mempertahankan “sentralisasi”. Padahal sentralisasi dengan beragam bentuknya terbukti telah menyengsarakan bangsa Indonesia selama kurang lebih 60 tahun, namun nampaknya kita tidak mau belajar dari pengalaman masa lalu dan ingin masuk pada jurang yang sama.

Motivasi untuk menghindarkan diri dari disintegrasi bukannya tidak penting, namun harus diletakkan dalam bingkai yang lebih strategis dan jangka panjang, yaitu demokratisasi di tingkat lokal yang mensyaratkan adanya kesimbangan peran antara elit politik lokal dengan masyarakat. Masyarakat secara yuridis harus diletakkan sebagai subyek, sebagai sumber hukum dari kebijakan yang akan diambil, sementara Pemerintah dan DPRD sebagai fasilitator untuk mengartikulasikan kebutuhan dan aspirasi rakyat, relasi yang demikian tidak bisa hanya diletakkan dalam aras “teori” atau aras filosofis dari UU Pemerintahan Daerah, namun harus dikonstruksi secara yuridis agar relasi yang seimbang tersebut mendapatkan perlindungan hukum yang memadai.

Sumber penyimpangan yang terjadi di daerah amat tekait dengan kelemahan yuridis UU Pemerintahan Daerah yang tidak meletakkan peran Pemerintah Daerah, DPRD dan masyarakat secara seimbang namun tersentral pada Pemerintah Daerah dan DPRD, sehingga kebijakan yang diproduk hanya untuk melayani kepentingan dan ambisi pribadi atas nama Pemerintah daerah dan DPRD sementara kepentingan masyarakat yang seharusnya diprioritaskan diabaikan bagai angin lalu saja. UU Pemerintahan Daerah merupakan karya DPR dan Pemerintah sehingga mereka tidak dapat begitu saja melepas tanggungjawab atas bopengnya wajah Pemerintah Daerah kita.

Tuntutan kelompok-kelompok masyarakat di daerah tidak lepas dari usaha memperbaiki kelemahan UU Pemerintah Daerah, misalnya tuntutan pembuatan Peraturan Daerah tentang Partisipasi, Kebebasan Memperoleh Informasi, Jaminan atas Pelayanan Publik di beberapa daerah misalnya di Malang, Surabaya, Makasar, Palu dilakukan karena UU Pemerintahan Daerah tidak menjamin persoalan-persoalan tersebut. Padahal secara teroritik maksud dan tujuan Otonomi Daerah adalah mendekatkan satuan-satuan pengambil kebijakan dengan masyarakat sehingga antara masyarakat dengan pengambil kebijakan terjadi saling interaksi untuk merumuskan kebutuhan dan kepentingan bersama dalam pengambilan kebijakan. Demikian pula dalam hal pelayanan publik, UU Pemerintahan Daerah diharapkan mampu meningkatkan kualitas pelayanan publik karena jalur birokrasi akan terpotong sampai di tingkat daerah, sehingga masyarakat cukup berinteraksi dengan Pemerintah Daerah tidak perlu Pemerintah Pusat untuk mendapatkan pelayanan.
Akan Tetapi, maksud dan tujuan yang sering diwacanakan dalam konteks teori tersebut belum pernah hadir dalam kenyataan, yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan dirumuskan secara oligarkhi oleh Pemerintah dan DPRD tanpa keterlibatan rakyat, APBD yang merupakan akumulasi sumber daya publik ramai-ramai jadi bancakan untuk dikorupsi, fasilitas untuk para pejabat dipilih yang paling mewah, Kepala Daerah dan DPRD bekerjasama menggelembungkan pendapatan (PP 109 tentang Kedudukan Keuangan Kepala Dearah dan Wakil Kepala Daerah menjadi pedoman besaran prosentase pendapatan DPRD seperti yang diatur dalam PP 24 tentang Kedudukan Keuangan DPRD, sehingga kalau DPRD ingin menaikkan pendapatan harus terlebih dahulu menaikkan pendapatan Kepala Daerah), jalan-jalan berkedok perjalanan dinas, sementara disisi yang lain kita saksikan rakyat mengalami penderitaan yang luar biasa.

UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, seharusnya merupakan perbaikan atas kelemahan-kelemahan UU 22 tahun 1999, namun justru UU 32 tahun 2004 dibuat dalam kondisi ketergesa-gesaan, dalam momentum Pilpres langsung yang perhatian sebagian besar masyarakat tertuju dan tidak melibatkan stake holder daerah (top down), terkesan UU 32 tahun 2004 hanya ingin memasukkan ketentuan tentang Pilkada Langsung dalam bingkai Otonomi Daerah karena tekanan publik yang sangat kuat (Ketentuan ini menjadi polemik tentang apakah Pilkada Langsung masuk rezim Pemilu atau tidak), UU 32 tahun 2004 tidak menyelesaikan masalah mendasar dalam pelaksanaan Otonomi Daerah misalnya penggunaan kekuasaan secara oligarkhis yang berujung pada penyimpangan APBD, pelayanan publik yang mahal, peraturan daerah yang membebani masyarakat dan dunia usaha.

Dalam rangka memperkuat penerapan Otonomi Daerah sistem perwakilan kita telah diubah dari sistem satu kamar (Unikameral) menjadi sistem dua kamar (bicameral) terdiri dari DPR sebagai representasi jumlah warga negara dan DPD sebagai representasi wilayah (teritori). DPD punya peran memperjuangkan kepentingan daerah dalam pengambilan kebijakan di tingkat nasional, meskipun belum strong bicameralisme namun DPD sebagai representasi daerah mempunyai legitimasi politik yang kuat karena dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga amat tepat bila DPD mempelopori revisi UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan proses yang buttom up belajar dari proses yang dilakukan oleh DPR dan Pemerintah yang top down sehingga tidak mampu menjawab persoalan namun menimbulkan persoalan baru. Harapan atas perbaikan kondisi daerah sebagiannya diatas pundak DPD apakah DPD akan melakukan itu atau adanya sama dengan tidak adanya untuk tidak mengatakan “sia-sia” saja.


Comments